'My parents is the worst!'
Saya
yakin kalimat ini pernah terlintas di benak seluruh anak di muka bumi ini. Atau
Anda berpikir hanya saya seorang diri yang sudah bersikap seperti drama queen dan Anda berani bersumpah
bahwa Anda tidak pernah mengeluhkan orang tua Anda sedikitpun? ‘Ah, mama mah
kolot, masa pergi nonton jam midnight aja gak boleh?’, ‘Saya ingin hadiah
ponsel S4 tapi dibelikan S2!’, ‘kenapa sih, orang mau baca komik malah disuruh
belajar?’ dst dst… mungkin ini keluhan kecil yang mudah terlupakan. Mungkin
pula ada keluhan besar yang tidak pernah Anda lupakan seumur hidup seperti
orang tua yang tidak mendukung karir dan impian Anda; memarahi atau membentak
Anda di depan umum; orang tua yang menjatuhkan rasa percaya diri Anda dengan
mengatakan kekurangan Anda tanpa melihat kelebihan Anda; O! percayalah, sebagai
orang Asia – khususnya Chinese descent – saya tahu dengan jelas bagaimana orang
tua kita yang istilahnya ‘berat mulut’ untuk memuji dan – khususnya – mengakui kesalahan
mereka. Keluhan lainnya seperti orang tua yang memiliki anak favorit dan saat
sedang berselisih dengan anak favorit-nya itu kita yang dijadikan sasaran
kemarahan. >saya bersumpah ini bukan pengalaman pribadi…..<
Anak tidak
bisa memilih siapa orang tua mereka atau di keluarga seperti apa mereka akan
dibesarkan. Tapi orang tua bisa memilih untuk melahirkan kita atau tidak. Jika anak
dilahirkan lalu kemudian untuk disakiti atau dijadikan pelampiasan stress, maka
bukankah sebaiknya sejak awal saja tidak perlu dilahirkan? Kenapa kita,
anak-anak, yang harus menanggung ketidakadilan ini?
Kita
sering kali mendengar pepatah ‘kasih ibu sepanjang masa’ atau ‘kasih seorang
ayah adalah gambaran kasih yang paling mendekati kasih Allah pada kita’. Tapi
belakangan ini saya mendapatkan pemikiran baru bahwa sebenarnya kasih anak kepada
orang tua 100 kali lebih besar dari kasih orang tua terhadap anaknya. Anak
dituntut untuk lebih lapang dada dan mengampuni orang tua 777 kali.
Contohnya:
jika orang tua berbuat salah pada kita, seperti mengatakan sesuatu yang
menyakiti hati kita, kita – sebagai anak – bisa memilih dua hal: melawan atau
diam menerima. Kalau kita melawan kita pasti langsung disemprot abis-abisan dan
di cap sebagai ‘anak kurang ajar’, karena orang tua konservatif selalu berpikir
apa yang keluar dari mulut mereka adalah wahyu dan yang selalu salah adalah anak.
Intinya, orang tua tidak pernah salah. Terutama dalam keluarga tradisional
China selalu ditanamkan pemahaman bahwa ‘不管怎么样,孩子不应该顶撞父母’, apa
pun yang terjadi anak tidak boleh melawan orang tua. Jadi, dua pilihan awal itu
berubah menjadi satu pilihan saja, yaitu ‘nerimo’. Dari contoh ini kita bisa melihat
bahwa anak-anak sebenarnya lebih dilatih untuk bersabar dan mengampuni. Orang tua
berpikir bahwa kritikan dan masukan dari anak adalah langkah awal anak itu untuk
membangkang, lalu terlibat judi dan mabuk-mabukan, dan akhirnya kabur dari
rumah. Sementara orang tua berpikir bahwa omelan dan cambukan adalah bukti
kasih sayang dan bagian dari proses pendewasaan seorang anak. Perdebatan dari
pihak orang tua dan anak ini tidak akan mendapatkan titik temu karena semua
orang merasa dirinya yang paling benar.
Ada
yang mengatakan “seburuk apapun seorang anak, ia tetap darah daging kita (orang
tua)”. Hal yang sama juga bisa kita terapkan pada orang tua kita “seburuk
apapun orang tua kita, tidak peduli kesalahan apa pun yang dilakukan mereka
pada kita, mereka tetap orang tua yang sudah memberikan gen, darah, dan organ
di tubuh kita ini”.
No comments:
Post a Comment